Lintasmerahputih.com (Jakarta) – Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH,MH, M.Kn
Tahun politik di Indonesia justru dimaknai sebagai tahun euforia dalam bentuk aksi dukung-mendukung secara membabi buta, tahun saling ejek-mengejek antar kelompok atau sesama anak bangsa. Tahun politik seolah identik dengan tahun perseteruan antar kubu politik para kontestan yang kerap mengorbankan masyarakat.
Gaung perseteruan di ranah publik sedemikian liar hingga sering memancing pertengkaran.
Seperti halnya yang terjadi akhir-akhir ini jelang pemilu dan pilpres 2024. Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang menciderai asas-asas demokrasi, dan membuka peluang tumbuhnya politik dinasti.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu mengubah peta politik secara drastis karena membuka kesempatan bagi wali kota Surakarta. Keputusan ini dinilai kontroversial dan mengandung cacat hukum di dalamnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang batas usia capres dan cawapres dengan tambahan frasa pernah menjabat kepala daerah menimbulkan kontroversi. Musababnya, putusan ini diambil tidak dengan suara bulat di MK dan diduga merupakan jalan yang dibuat agar wali kota Surakarta bisa ikut Pilpres 2024.
Sejak demokrasi diadopsi sebagai sistem politik oleh banyak negara di dunia dan hingga saat ini masih terus dijadikan panduan bernegara, tidak sepenuhnya memberikan kebebasan dalam mengekspresikan eksistensi sebagai warga negara. Ancaman kematian demokrasi rupanya tidak datang dari adanya invasi negara lain, namun disebabkan kurangnya keadaban dalam ruang publik.
Bagaimanapun, unsur akal sehat memiliki peran yang sangat penting dalam dunia perpolitikan yang memantik semua kalangan terutama para elite politik dalam meninggalkan berpikir yang irasional. Hal ini untuk memobilisasi sistem politik pada koridornya dan membawanya ke arah lebih kondusif. Akal sehat sebagai ruh yang menggerakan semua sistem yang salah dalam dimensi politik ke arah yang lebih progresif.
Sempitnya pemahaman dan dangkalanya praktik demokrasi seringkali membuat demokrasi kehilangan ontesitas maknanya. Kebebasan sebagai roh dari demokrasi malah dijadilkan sebagai dalil untuk melakukan tindakan penyelewengan atau semena-mena. Pemahaman demokrasi cendrung mengarah orang pada tindakan kebebasan kebablasan yang berujung pada konflik horizontal dan vertical.
Berbagai fenomena seperti hoaks dan hate speech di media sosial menunjukan hal tersebut. Hal inilah yang kemudian menjelaskan mengapa kebebasan over-thingking atau tanpa kontrol ini, dalam situasi tertentu cerndung menciptakan apa yang disebut ketidakaturan sosial (social disorder).
Berbagai persoalan yang terjadi jelang pemilu dan pilpres ini, menunjukan bahwa demokrasi kita tidak baik-baik saja, sedang sakit kornis. Pertanyaannya adalah upaya apa yang dilakukan sehingga demokrasi kita betul-betul dipraktikan ke jalan yang benar? Dan demokrasi apa yang dipakai sebagai role model dalam membangun cara berada kita sebagai warga negara yang baik? Pertanyaan ini penting sebagai bagian dari upaya kita mencegah praktik demokrasi yang kebablasan.
Suka tidak suka, mau tidak mau, sudah saatnya demokrasi kita harus kembali kepada jalan yang benar. Satu keyakinan mendasar, apa yang benar itu pasti selalu berangkat dari pikiran dan akal yang sehat. Oleh karena itu, demokrasi yang mesti kita wartakan dalam kehidupan sebagai warga negara adalah demokrasi akal sehat, demokrasi yang mengedankan nalar. Akal sehat menjadi benteng untuk menjauhkan orang dari pikiran-pikiran yang gelap.
Demokrasi akal sehat harus dikedepankan, sebab kita memasuki Abad Kehancuran. Hannh Arend dalam bukunya Men in Dark Time, menyebutnya sebagai Abad Kegelapan. Kegelapan ini dimaksudkan Arend sebagai ketidakberpikiran. Ketidakberpikiran bukan berarti ketidakcerdasan melainkan ‘ketidakmampuan berpikir kritis dan memahami situasi/posisi orang lain. Kata Arend, ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia.
Karena tidak berpikir, manusia mudah melakukan berbagai kejahatan.
Mengembalikan akal sehat adalah tugas utama para intelektual (Pendidik, mahasiswa) dan budayawan. Merekalah pertama-tama mencerdaskan masyarakat dari varian pembodohan politik. Dalam Mitologi Yunani, para intelektual ini serupa kisah Promotheus, yang turun ke dunia membawa api karena tak nyaman melihat manusia merangkak dalam kegelapan dan kebodohan. Yang ditonjolkan adalah idealisme kebenaran dan prinsip pengetahuan rasional. Sekali lagi, peran intelektual dan budayawan diletakan sebagai tugu sekaligus pagar dalam demokrasi.
Mari kita kembali pada jati diri kita sebagai bangsa yang beradab, berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Jangan biarkan negeri yang kita cintai ini, terpuruk, karena robohnya nilai-nilai demokrasi.